SAJAK CINTA ZAMAN DUSTA
Puisi-puisi Sulaiman Djaya
____________________________________________________________________
KOTAKU TENGAH MALAM
Di pedestarian alun alun kota
Diantara remang remang lampu
Pagar besi dan pohonan,
Satu dua tiga perempuan
Mengajukan harga
Untuk beberapa menit
Memuaskan kemaluan
Di kamar hotel
Kelas teri. Abang harus paham
Si perempuan berujar
Kepada si lelaki hidung belang
Sepertiga harga
Untuk sewa kamar
Hidup susah rakyat
Memang bukan bahan pikiran
Para politisi
Yang ingin cari untung
Dari setiap suksesi.
Demokrasi yang dipuja puji
Kaum akademisi
Lulusan luar negeri
Ternyata tak lebih
Pasar transaksi
Kuasa dan kursi
Para teroris berdasi
Dukungan konglomerasi.
(2024)
Sajak Cinta Zaman Dusta
Apa yang kau pikirkan, sayang?
Aku tak paham status
Dan unggahan-unggahan fotomu
Di facebook dan instagram?
Gaya tuturmu
Seperti jubir politik Amerika
Yang doyan menipu.
Juga seperti propaganda
Dan berita-berita
Media-media korporasi
Yang melayani ambisi invasi
Israel, NATO, USA
Dan proksi mereka
Di negeri kita tercinta
Bicara HAM, kebebasan,
Emansipasi perempuan
Demi donasi dan bayaran
Lembaga-lembaga finansial
Para perancang penjajahan
Jualan demokrasi untuk hipokrisi
Segelintir elit. Mari kita bernyanyi
Dan berdendang, sayang!
Menertawakan kemunafikan zaman
Para penyembah benda-benda
Dan kertas bergambar
Yang melampiaskan kerakusan
Dengan membunuh sesama
Demi bisnis persenjataan.
(2023)
Puisi Dadakan
Ibu – ibu pemungut sampah
Mengingatkanku pada Karl Marx
Waktu kuliah:
Kerakusan, keserakahan
Atas nama bisnis dan kebebasan
Hak milik serta kekayaan.
Tetapi sesungguhnya
Ada politik
Dan permainan
Kelas dominan
Secara sepihak.
Orang – orang dimiskinkan
Oleh segelintir elit
Yang jualan demokrasi
Lewat mulut kaum akademisi.
(2023)
Impian
Pot yang kuisi kuntum
Akan mekar jadi maut
Tidurmu yang lelap
Telah kudekap
Bayangkan aku menyentuhmu
Tanpa tubuh
Tanpa gerak menggebu
Ke ceruk ranummu
Bayangkan kukecup
Renta keningmu
Setulus cinta pertamaku
Yang jujur dan dungu.
(2023)
Eksposisi
Kubaca berita
Tapi tak kutemukan
Hidup dan peristiwa.
Kubaca puisi
Tapi ternyata salinan
Puisi yang lain.
Aku memang hidup
Di zaman mesin
Dan abad reproduksi
Para penghasil imitasi
Dari politik
Hingga selebriti.
(2023)
Sajak Cinta Zaman Dusta
Apa yang kau pikirkan, sayang?
Aku tak paham status
Dan unggahan-unggahan fotomu
Di facebook dan instagram?
Gaya tuturmu
Seperti jubir politik Amerika
Yang doyan menipu.
Juga seperti propaganda
Dan berita-berita
Media-media korporasi
Yang melayani ambisi invasi
Israel, NATO, USA
Dan proksi mereka
Di negeri kita tercinta
Bicara HAM, kebebasan,
Emansipasi perempuan
Demi donasi dan bayaran
Lembaga-lembaga finansial
Para perancang penjajahan
Jualan demokrasi untuk hipokrisi
Segelintir elit. Mari kita bernyanyi
Dan berdendang, sayang!
Menertawakan kemunafikan zaman
Para penyembah benda-benda
Dan kertas bergambar
Yang melampiaskan kerakusan
Dengan membunuh sesama
Demi bisnis persenjataan.
(2023)
Parabel November
Malam yang bercermin
Di muka air
Adalah hikmah
Ketika lampu-lampu
Dan lembab angin
Memintal waktu.
Manusia terlelap
Selagi hidup
Meski tahu
Kematian bakal menjemput
Semesra rinduku
Pada derai tawamu.
Manusia hidup dengan lupa
Terlempar ke dunia
Seperti perempuan yang bosan
Dengan kekasih pertamanya.
Setiap hari mereka
Menerima sepi sebagai kerja.
Lalu penyair
Si penafsir sentimentil
Juga tak luput dari prasangka
Menderita karena kata
Sebagai pelarian jalan hidup
Abad pencipta ragam berhala.
(2023)
Kertas
Dengan bahagia,
Kutinggalkan
Sisa senjaku
pada hujan yang
Masih saja asik
bertabuhan.
Lebih nyata
Dari buku-buku
Yang kubaca
Adalah kau.
Lebih nyata dari kesedihan yang
Tak ingin kutuliskan.
Dan betapa sesungguhnya
Tahun-tahun tak beranjak
Ketika telah menjadi
Sejumlah sajak
Bahasa cinta
Kekal abadi.
(2022)
Ingatan
Di setapak pematang kecil
Kupetik lagi
Buah buah cherri.
Tahun tahun bernyanyi
Dan pergi
Di ingatan orang lain.
Mata yang meraba cuaca
Kelak tak lagi
Memanja
Yang tercinta
Seperti ketika senja
Masa kanak
Begitu santun
Mengurai
Satu persatu
Gugur daun
Kesahajaan ibuku.
(2022)
Kiasan
Aku senang sekali
Bermain air.
Menyentuh lumut di tepi
Dan dasar sepi.
Memahami jemari matahari
Yang mengajarkanku
Mencintai hidup
Tanpa pamrih.
Apa kabarmu hari ini
Penyair? Sesekali kau perlu
Mengintimi kitab suci
Agar kau jadi tahu
Para penjaja agama
Adalah kaum munafik.
Memperjual-belikan kesalehan
Dengan iklan
Di tivi-tivi. Aku suka sekali
Memandangi lalang senjahari
Dalam sunyi hati.
Migrasi para burung
Di punggung langit
Adalah perumpamaan
Ketulusan hidup
Yang tak bisa dibeli.
(2021)
Amsal Air
Air adalah asal diri
Jadi hujan
Jadi sungai
Kehidupan. Lidah kata
Terlembaga
Bahasa dusta.
Manusia jadi mesin
Dan benda-benda.
Air adalah kasih
Kesabaran.
Sunyi
Yang menghidupkan.
Dan di halaman
Ricik bertabuhan.
Seakan dulu kala
Kanak-kanak berlarian
Ke ketiadaan
Seperti kamu
Berumah hatiku
Memeluk kedamaian.
(2021)
Puisi Politik
Puisi ini bukan tentang kau
Juga bukan roman picisan
Remaja millenial
Yang doyan galau
Update status
Gandrung flexing
Seperti para kandidat
Tiap musim kontestasi.
Atau para simpatisan partai
Penyintas politik identitas
Yang pura pura religius
Jelang pemilu.
Juga aktivis HAM dan kaum feminis,
Pemuda urban chauvinis,
Yang cuma snobis
Jadi corong proksi geopolitik.
Hai para penyair
Sesekali kita bicara
Bukan tentang sajak-sajak imajis,
Tapi visi ekonomi
Bangsa konsumeris tak produktif.
Kaum partisipan cum pendengung
Demokrasi kapitalisme elit
Negeri imitasi.
(2023)
Sonata 1
Bila kubaca
Gerimis
Yang mengabut
Luruh
Pada sepasang matamu
Rindu pun
Jadi raut
Serupa lirih arus
Gaib waktu.
Tanpamu
Kata tak bermakna
Dan sajak
Hilang nada.
Bila kubaca
Kuyup sendu
Kerling matamu
Tertawa riang
Selalu saja
Ada bahasa
Yang tak pernah sama.
(2023)
Sonata 2
Karenamu
Mei jadi kekal senja.
Sepi jadi gerimis
Dan segala
Jadi gembira.
Karena-mu,
Sunyi jadi nyanyi
Dan bersama hujan
Namamu bergema.
Karena-mu,
Puisiku ada.
Kaulah perempuan
Yang melahirkannya.
Hatiku malam
Dan kau pelita
Yang meneranginya.
(2023)
Sonata 3
Jika sore lelahmu singgah
Di benakmu, cintaku,
Bayangkan matamu
Menggambar cuaca.
Bayangkan Mei
Jadi kanak-kanak
Senjahari. Bayangkan kepadamu
Aku selalu jatuh cinta.
Bayangkan kubaca namamu
Bersama rembang
Yang terjaga. Ketika rindu
Jadi kata.
(2023)
Sonata 4
Di hamparan wajahmu
Terbentang jazirah rindu.
Segala menerka
Cinta dan cuaca.
Apa yang semula tiada
Lahir gembira.
Engkau bukan bunga,
Bukan pula amsal bahasa.
Dari senja yang sama
Juga gema dan cuaca
Tetap tak kutemu
Kiasan umpama
Keriangan matamu
Bagi hidup
Yang luput diduga
Oleh kata.
(2023)
Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Rakyat Sumbar, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, serta berbagai media cetak dan online lokal maupun nasional. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai & puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, Antologi Puisi Yang Tampil Beda Setelah Chairil Anwar Yayasan Hari Puisi Indonesia 2016, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan lain-lain.
Foto diambil dari Liputan9.id
———————————–